Senin, 06 Agustus 2018

Makassar first timer, senja di Pantai Losari..




Sebelumnya mohon maaf, karena saya sedang jaraaang banget pergi kemana-mana maka demi keberlanjutan eksistensi blog saya memutuskan untuk reupload beberapa tulisan lawas. Sekalian nostalgia ya.. throwback to the the time i felt excited about going to another destination.
Ini salah satu dari banyaaak tulisan dari blog lama (sudah dihapus) yang rencananya akan saya upload lagi sementara nungguin kesempatan jalan ke tempat-tempat baru. Semoga masih diberi kesempatan untuk kerja sambil jalan kemana-mana lagi ya, biar tetep sehat jasmani rohani.
--

2016,


Beberapa hari lalu
tempat kerja saya ngadain kegiatan di Makassar,
Yeeeeey! Seneng banget, karena saya memang belum pernah sama sekali pergi ke Makassar. Ini yang pertama, dan perginya bareng-bareng pula, asiiiikk!

Hari Minggu, kami rame-rame berangkat dari Jakarta. Landing di bandar udara Sultan Hasanuddin, Maros, sekitar pukul 14 siang, alhamdulillahperjalanan overall lancar. Kami langsung ke hotel karena peserta sudah berdatangan. Kali ini kami menyelenggarakan kegiatan di hotel Aryaduta Makassar, tepat di pinggir pantai Losari.

Karena belom ada kerjaan, sekitar jam 5 sore saya sudah berada di pantai Losari. Akhirnya ketemu pantaaaaaiiiii!!!




Awalnya, saya bayangin pantai Losari akan ngobatin kangen saya sama ombak dan pasir pantai selatan di kota kelahiran. Tapi ternyata.. saya baru tahu kenyataan yang bertolak belakang 180 derajat: Pantai Losari ini nggak berombak! Nggak ada ombaknya sama sekali, bahkan nggak bisa main pasir. 

Pantai yang terletak di sebelah barat kota Makassar ini layaknya seorang Lady, kalem dan tenang. Hanya ada riak-riak air kecil karena hembusan anginlaut yang sepoi-sepoi. Pemandangan indah tersaji di depan mata karena hari sudah mulai senja, matahari pun seakan bermalas-malasan memancarkan sinarnya. Keindahan matahari senja yang memanjakan mata menanti untuk diabadikan dalam lensa kamera.

Sayangnya keindahan pantai Losari ternoda oleh efek modernisasi yang dilakukan manusia. Airlautnya cukup kotor, berwarna keruh kehitaman. Tidak ada pasir pantai nan putih, hanya ada tembok pembatas sepanjang pesisir pantai. Gagal sudah cita-cita saya untuk berjalan di atas pasir putih sambil menikmati elusan ombak di kaki.




Namun kekecewaan ini sedikit terobati ketika saya menemukan banyak spot untuk foto-fotodi sekitar pantai. Ada papan nama dan tugu Pantai Losari yang dibangun demi memenuhi kebutuhan generasi zaman now: take a selfie di tempat wisata. Terlihat banyak pengunjung (yang kebanyakan memang masih muda-muda belia) mengambil gambar di depan tugu “Makassar” dan “Pantai Losari”. Pemda mungkin menghabiskan banyak  dana untuk membangun banyak fasilitas dan spot-spot cantik untuk wisatawan di Pantai Losari ini, terlihat dari lengkapnya fasilitas di sekitar pantai. Ada toilet umum, ada bebek-bebekan juga yang bisa disewa berkeliling sekitar pantai. Banyak sekali tempat duduk, taman, bahkan ada Masjid yang cukup megah. Penjual makanan bebas berdagang di lapak-lapak yang tertata rapi. Meski segala macam kuliner tersedia, namun menu Pisang epe dan es palu butung masih menjadi primadona terlilhat dari ramainya pembeli yang mengantri.



Tiada rotan akar pun jadi. Tidak jadi main ombak, saya memutuskan untuk menanti senja sambil menikmati sepiring pisang epe’ bersalut gula aren.  





Selang beberapa lama, maghrib pun tiba. Diiringi sayup-sayup panggilan muadzin di kejauhan, pengunjung pantai yang awalnya ramai mulai pelan-pelan meninggalkan pantai, pulang. Pengunjung yang datang dari jauh, beranjak menuju masjid di pinggir pantai Losari. Shalat berjamaah disana..

Rabu, 01 Agustus 2018

Masjid Mujahidin, sebuah oase di tanah Khatulistiwa

Last story dari tanah Khatulistiwa..




Jadi setiap dinas luar ke daerah baru, saya berusaha menyempatkan diri shalat di masjid Raya atau masjid Agung di wilayah yang saya kunjungi. Nah kemaren dulu ketika berkesempatan mengunjungi tanah Khatulistiwa, bumi Pontianak, saya mampir ke masjid Raya Mujahidin Pontianak. JL. A.Yani, Kec.Pontianak Selatan, Kota Pontianak, Prov.Kalimantan Barat.




Masjidnya baru dan bagus, ramee pula jamaahnya. Seperti kebanyakan masjid baru, catnya baru berwarna putih bersih, lingkungan dan toiletnya pun bersih, ruangan-ruangan di lantai bawah masjid terlihat rapi dan tertata, parkirannya pun luas dan memudahkan jamaah yang membawa kendaraan.






Langit-langit masjid dihiasi kaligrafi yang terukir indah, ruangan di dalam masjid terasa dingin dan sejuk, dengan lantai beralas karpet yang empuk dan wangi.

Pas saya kesana, waktunya pas mau shalat dhuhur. Dan itu masjidnya rame, penuh banget sama anak-anak sekolahan. Anak SD, SMP dari sekolah di sekitar masjid yang akan melakukan shalat dhuhur berjamaah. 


Sepertinya kegiatan shalat berjamaah ini diwajibkan oleh pihak sekolahnya, saya melihat beberapa guru mengawasi bahkan mengabsen kehadiran siswanya. Siswi yang sedang berhalangan tetap harus ikut hadir meski hanya menunggu di teras masjid.

Setelah selesai shalat, anak lelaki berlarian dengan gembira, anak perempuan melipat mukena dengan rapi kemudian berbondong-bondong keluar dari masjid. Duh, adem bener hati saya liat yang begitu.. hehe..


Alhamdulillah, saya seneng bisa mengunjungi kota Khatulistiwa ini. Banyak hal baru yang saya lihat, dengar dan rasakan. Banyak cerita yang bisa disampaikan ulang, banyak hal yang bisa dilihat. 

Oh, dan disini saya beli oleh-oleh sari Lidah Buaya buat temen-temen kantor, gak tau sih gimana rasanya wong saya nggak makan, tapi katanya temen-temen sih enak. Saya juga sempet makan di rumah makan Padang yang pemiliknya beneran orang Minang, uenaaak ternyata! Beda sama warung Padang-Jawa di Jakarta yang rasa masakannya udah blasteran, disesuaikan dengan selera pembelinya.

Selamat tinggal Pontianak. Semoga kapan-kapan bisa kesana lagi..


Makassar first timer, senja di Pantai Losari..

Sebelumnya mohon maaf, karena saya sedang jaraaang banget pergi kemana-mana maka demi keberlanjutan eksistensi blog saya memutuskan untuk re...