Kamis, 08 Februari 2018

Kasultanan Kadriah, Pontianak



Lokasi selanjutnya yang menjadi destinasi mbolang sekaligus menjadi lokasi paling berkesan, adalah istana Kasultanan Kadriah, Pontianak.



Jadi, karena saya dan teman saya sama-sama buta arah di Pontianak dan tidak berani bawa kendaraan sendiri, kami memutuskan untuk menyewa mobil selama mbolang di Pontianak. Kebetulan ada sopir mobil sewaan yang mau mengantarkan kami berkeliling ke beberapa destinasi.

Selama perjalanan, kami disarankan olehpak sopir untuk mampir istana agar waktunya ngepasdua jam (waktu minimal menyewa mobil). Awalnya iseng, yaudahlah sekalian mampir mumpung searah. Karena sedikit sekali info yang saya peroleh tentang tempat ini, awalnya saya pikir istana ini adalah semacam istana kasultanan yang sudah runtuh atau tidak dihuni. Apalagi lokasinya yang terletak agak di pinggir kota, di kecamatan Pontianak Timur. Lokasi tepatnya berada di Kampung Beting, Kelurahan Dalam Bugis, Kecamatan Pontianak Timur, Pontianak.

Namun ekspektasi saya ternyata salah.Setibanya di lokasi, saya disambut sebuah bangunan kayu nan besar dan megah. Benar-benar sebuah istana indah yang bernuansa melayu. Tinggi menjulang dan bercat kuning keemasan, inilah Istana Kasultanan Kadriyah, Pontianak. 

Sama seperti istana-istana melayu lainnya, terdapat sebuah meriam kuno berwarna kuning yang bersiaga dengan gagahnya, tepat di tengah lapangan yang memisahkan gerbang dan tangga istana. Konon katanya, jatuhnya tiga peluru meriam ini yang dulu digunakan untuk menandai lokasi pendirian Istana Kadriah, Mesjid Jami' Sultan Abdurrahman serta lokasi pemakaman anggota keluarga Kesultanan Pontianak.

Bercat warna kuning terang dan berbentuk rumah panggung khas Kalimantan, saya membayangkan, pastilah bangunan ini amat megah dan dikagumi pada masa jayanya. Konon katanya, kayu yang digunakan untuk membangun istana ini adalah kayu berlian atau kayu ulin pilihan yang tidak akan dimakan rayap atau lapuk meski telah berabad usianya. Cat kuning yang mewarnai seluruh bangunan pun merupakan ciri khas kerajaan Melayu Islam yang melambangkan kejayaan dan kemakmuran.

Di sekeliling istana nampak anak-anak kecil berlarian, bermain-main di halaman yang cukup luas. Kami naik ke tangga utama setelah melepas alas kaki (tamu diharuskan melepas sepatu) dan sampai di teras yang cukup luas. Nah, disinilah saya mendapatkan kejutan..

Di teras, saya melihat sepasang suami istri sedang duduk bersantai di kursi teras. Disamping mereka berdua, ada seorang laki-laki lebih muda yang duduk di bawah, ngampar di lantai. Beliau bertiga sedang bercakap-cakap lirih dan memperhatikan saya yang terlihat kebingungan. Saya agak bingung, apakah ada regulasi untuk masuk ke dalam istana ini atau bagaimana, karena saya tidak melihat siapapun selain beliau bertiga. Sampai disini karena saya masih berasumsi istana ini sudah tidak berpenghuni, maka saya hanya mikirOh, beliau-beliau ini mungkin pengunjung istana yang sedang beristirahat”. Saya masih gagal paham karena saya memang tidak tahu informasi apapun sama sekali tentang Kasultanan di Pontianak ini.

Dengan cluelesssaya jalan menuju pintu masuk istana, ketika lelaki yang lebih muda tadi menghampiri kami berdua.
“Selamat pagi, ibu berdua ini darimana?” sapa beliau santun. Oh, beliau ini mungkin guide atau pemandu di istana ini, batin saya. Soalnya beliau santun dan humble sekali. 
Setelah menjelaskan asal usul kami dan basa-basi sebentar, kami dipersilahkan masuk kedalam istana. Kemudian sambil menunjuk sepasang suami istri yang sedang beristirahat di kursi tadi, bapak muda ini berkata,
“Beliau ini adalah sultan Pontianak saat ini, Sultan Syarif Abubakar Alkadrie bin Syarif Mahmud Alkadrie, bersama permaisuri”.
Sumpah saya kaget. 
“Eh gimana? Seriusan nih? Sultan?? Sultan yang semacam Raja gitu kan ya?? Pemimpin tertinggi di sebuah kasultanan kan ya?? Ini gak salah nih??” saya mulai norak-norak excited gitu..
Ternyata menurut info dari beliau, Kasultanan yang berdiri sejak 1771 ini masih tetap lestari dengan dipimpin Sultan Syarif Abubakar Alkadrie sejak tahun 2004.

Saya kaget karena baru kali ini bertemu langsung dengan Sultan ke-8 dari Kasultanan Kadriyah ini. Tampilan beliau dan istri yang bersahaja sangat mencerminkan kesederhanaan seorang pemimpin yang merakyat. Lebih kaget lagi ketika sang Permaisuri, Mas Ratu Laila, menawarkan untuk menemani kami melihat-lihat istana. Wuih, kapan lagi ketemu Permaisuri kerajaan, ditemenin keliling istana pula! Tentu saja kami tak menolak, alhasil kami berkeliling-keliling istana ditemani ibu Permaisuri nan cantik dan bersahaja.

Memasuki pintu istana, Ibu Permaisuri menjelaskan asal-usul dan koleksi benda bersejarah yang terpajang rapi di dinding istana Kasultanan Kadriah ini. Sayangnya ada beberapa ruangan yang tertutup untuk umum karena sedang ada rencana untuk menata kembali ruangan kerajaan. Berjajar di dinding istana yang berwarna kuning cerah, foto-foto dan benda-benda koleksi istana yang amat bersejarah. Terdapat foto-foto Sultan Pontianak, lambang kesultanan, lampu hias yang indah, kipas angin, keris, dan meja giok. Namun yang menjadi fokus saya adalah sebuah singgasana raja yang berdiri megah tepat di tengah-tengah ruangan istana. Singgasana berwarna  keemasan yang sampai saat ini masih digunakan saat menerima tamu-tamu kesultanan.



Ibu Permaisuri juga menunjukkan sebuah warisan kerajaan yang disebut Cermin Pecah Seribu. Cermin ini dikatakan ajaib karena bisa melihat 1000 wajah kita. Berupa dua buah cermin besar yang diletakkan berseberangan dengan sudut tertentu yang diatur, sehingga jika kita berdiri di depan cermin tersebut akan nampaklah bayangan yang berlapis-lapis, seakan memiliki seribu bayangan.



Di bagian belakang ruang istana terdapat satu ruangan yang cukup besar. Sayangnya karena sedang akan ditata ulang, ruangan ini ditutup sementara untuk umum. Menurut Permaisuri, di dalam ruangan ini terdapat benda-benda warisan Kesultanan Pontianak, seperti senjata, pakaian sultan dan permaisurinya, foto-foto keluarga sultan, dan arca-arca.

Lebih lanjut Permaisuri juga menceritakan terjadinya tragedi pembunuhan Sultan terdahulu oleh Jepang, yaitu Sultan Syarif Muhammad. Peristiwa ini terjadi pada suatu pagi di bulan Junitahun 1944. Bukan hanya Sultan Syarif Muhammad beserta keluarga, Jepang juga membunuh cendekiawan, tokoh dan pemuka agama, pemuka adat dan ribuan rakyat Pontianak. Peristiwa ini kemudian dikenal sebagai Peristiwa Mandor dan menjadi salah satu faktor utama terjadinya Perang Dayak Desa pada saat itu. Jenazah Sultan yang dibunuh sepulang shalat subuh di masjid ini baru ditemukan oleh putranya pada tahun 1946.

Pembantaian keluarga kerajaan ini hanya menyisakan anak-anak dan wanita. Namun ada seorang putra sultan yang berhasil selamat (saat itu beliau sedang menjadi tawanan Jepang di Batavia), Syarif Hamid, yang kemudian naik tahta dan dinobatkan dengan gelar Sultan Hamid II. Nah, beliau inilah yang merupakan salah satu penggagas lambang negara Indonesia, Burung Garuda.



Terpajang apik di dinding istana, duplikat desain dari desain awal lambang negara Republik Indonesia yang dirancang oleh Sultan Hamid II. Sayangnya belum banyak yang tahu, atau memberikan apresiasi terhadap jasa beliau. Bahkan pemerintah pun dirasa masih kurang perhatian terhadap salah satu tokoh penting bangsa ini. Sehingga muncul wacana dari pihak keluarga dan yayasan Sultan Hamid II untuk mengajukan Sultan Hamid II sebagai Pahlawan Nasional atas jasanya sebagai perancang lambang negara Garuda Pancasila.

Cukup lama kami ngobrol ngalor ngidul. Ndelalah Ibu Permaisuri Mas Ratu Laila ini  orangnya masih muda, pinter, cantik pula. Fasih sekali beliau mengungkapkan pendapat-pendapatnya tentang beragam permasalahan negeri ini. Beliau menjelaskan bahwa sejak lama telah muncul usulan untuk mengganti nama bandara Pontianak menjadi Bandara Internasional Sultan Hamid II (saat ini bernama Bandara Supadio), namun sayangnya sampai saat ini masih belum terealisasi. Beliau juga menjelaskan rencana pihak kasultanan untuk mengubah dan memanfaatkan istana sebagai ruang display benda-benda peninggalan kerajaan. Jadi nantinya istana ini akan sekaligus beralih fungsi sebagai museum yang memuat segala informasi tentang Kasultanan Kadriyah dan Sultan Hamid II. Wow, kereeen!

Nah, btw, di akhir percakapan kami, saya mendapatkan kejutan lain..
Jadi setelah ngobrol panjang lebar, teman saya iseng nanya. “Sekarang apa masih ada putra mahkota di kasultanan Kadriah ini?”. Saya ikut penasaran juga sih, apa masih ada garis keturunan? masihkah gelar kerajaan ini diwariskan?. Kemudian ibu Permaisuri menunjukkan sebuah foto, “Ini putra mahkota yang sekarang, pewaris tahta jika Sultan nanti meninggal”. Trus saya dan teman sayakaget, lho ini kan bapak-bapak muda yang tadi itu, yang menyapa dan nyamperin kami.
Walah, jadi orang yang tadi saya pikir guide istana itu ternyata adalah Putra Mahkota Kasultanan Kadriah, dan pasangan suami istri yang saya sangka pengunjung tadi sebenarnya adalah Sultan dan Permaisurinya. What a surprise!


*FYI, saat ini Sultan Syarif Abubakar Alkadrie bin Syarif Mahmud Alkadrie telah meninggal dan digantikan oleh putranya yang bernama Syarif Mahmud “Melvin” Alkadrie*

Minggu, 04 Februari 2018

Tugu Khatulistiwa, Pontianak




Dear readers, how are you? After a loooong break, finally now i’m back...yeeeey!
Mohon maaf atas ketidakhadiran tulisan receh saya selama beberapa waktu kebelakang. You know, life’s been rough and i have to survive jadi untuk sementara kemaren absen dulu nulisnya. Actually sampe sekarang juga masih belum berkesempatan kemana-mana jadinya gak ada bahan untuk apdet blog, sedih..
Sebagai salah satu solusi untuk membangkitkan kembali gairah menulis, saya sengaja ngoprek file lama di laptop and i found this one. Foto-foto dan tulisan di blog lama tentang a short trip to ibu kota provinsi Kalimantan Barat, kota Pontianak. Perjalanan ini sudah agak lama, saat saya masih agak kurus. Jadi jika nanti menemukan foto saya, percayalah dulu saya pernah sekurus itu meskipun sekarang menggendut *insecure*. 
So, lets check this one, barangkali bisa jadi referensi buat kamu-kamu yang sedang atau akan mbolang manja ke Pontianak. Jangan lupa untuk menyempatkan diri mengunjungi beberapa spot cantik di Kota Khatulistiwa ini. 



    
Saat berkunjung ke Kota Khatulistiwa, tempat pertama yang kami kunjungi adalah Tugu Khatulistiwa. Tugu ini adalah sebuah tempat yang istimewa karena menandai lokasi perlintasan garis khatulistiwa yang terdapat persis di kota Pontianak, Indonesia. Karena dilalui khatulistiwa tersebut, tak heran jika di kota ini rasanya setiap hari panas terik dan matahari terasa dekat. Pun terdapat fenomena Titik Kulminasi atau Equinox yang terjadi pada 21-23 Maret dan 21-23 September. Keadaan ini terjadi ketika matahari tepat berada di atas garis khatulistiwa, dan hal ini menyebabkan bayangan benda-benda di permukaan bumi tidak tampak. Kulminasi matahari juga menghasilkan gaya gravitasi yang cukup kuat sehingga bisa membuat telur berdiri tegak di titik nol derajat. Jadi jika kita sedang berada di bawah sinar matahari di tugu khatulistiwa ini sekitar jam 11.30 hingga jam 12.30 WIB, kita tidak akan memiliki bayangan diri. Hal ini membuktikan bahwa matahari benar-benar tepat berada di atas kepala.

Lokasi Tugu Khatulistiwa ini agak jauh sih dari pusat kota, tepatnya di Jalan khatulistiwa, Siantan, Kec Pontianak Utara. Sekitar 45 menit ke utara. Salah satu alternatif transportasi yang bisa digunakan menuju kesana adalah taksi atau ojek. Kalo saya kemaren sih nyewa taksi harian dengan tarif 70K per dua jam (cmiiw), jadi bisa sekaligus ngiter kemana-mana sampai puas.

Sekilas cerita, bangunan ini berbentuk tugu tinggi, yang dilengkapi semacam monumen atau bangunan. Di depan pintu gerbang ada plang yang bertuliskan "Selamat Datang di Tugu Khatulistiwa". Saat kami datang, suasana lumayan sepi. Weekday mungkin, jadi pengunjungnya hanya satu-dua orang. 



      Di bagian depan kompleks, tampak beberapa bangunan baru sedang dalam proses pembangunan. Memang ada rencana untuk menata ulang Monumen Tugu Khatulistiwa ini. Pada rencana yang terdisplay, nantinya akan dibangun beberapa fasilitas misalnya restoran, waterpark, waterfront, pusat souvenir, taman, dan fasilitas lainnya. Jejak-jejak proses konstruksi jelas terlihat dari beberapa alat berat yang sedang diistirahatkan dan bangunan baru yang belum selesai.




     Kami masuk kedalam bangunan inti dan menemukan sebuah ruangan oval dengan tugu khatulistiwa asli – lebih kecil- di tengah ruangan. Nampak seorang petugas jaga yang mengawasi tamu dan memberikan beberapa informasi jika diperlukan. Semua tamu memang diwajibkan mengisi daftar tamu sebelum masuk kedalam ruangan.

Terkait tugu khatulitiwa yang berada di tengah-tengah ruangan ini, konon ceritanya dahulu ada satu ekspedisi internasional dipimpin ahli geografi Belanda yang datang ke Pontianak untuk menentukan titik lintasan garis khatulistiwa. Penelitian tersebut membuahkan hasil sehingga pada 1928 didirikan sebuah tugu sederhana yang menandai lintasan garis equator tersebut. Tugu sederhana tersebut dipanggil dengan istilah tonggak atau patok.

Selanjutnya, pada tahun 1938 tugu khatulistiwa disempurnakan oleh seorang arsitek bernama Silaban. Bentuk tugu menjadi lebih rumit dan unik. Pada penyempurnaan pertama, tugu memiliki 4 buah tonggak yang terbuat dari kayu belian atau ulin yang berdiameter 0,30 meter. Terdapat lingkaran yang berisikan panah. Di bawah panah tersebut terdapat tulisan 109 derajat 20’0″OlvG” yang menunjukkan letak tugu bedara pada garis bujur timur. Bangunan tugu ini masih dapat kita temui didalam monument tugu yang ada sekarang. Akhirnya pada tahun 1990, Tugu Khatulistiwa Pontianak kembali disempurnakan dengan pembuatan pelindung dan duplikasi tugu dengan ukuran 5 kali lebih besar dari tugu yang asli. Bangunan inilah yang kita kenal dengan monumen khatulistiwa sekarang ini . Tugu yang megah itu diresmikan pada tanggal 21 septermber 1991. (5 fakta unik tugu khatulistiwa

      Di ruangan berbentuk oval ini, dipajang beberapa poster yang menjelaskan rumus gravitasi, gaya berat absolut (kemudian mata saya berkunang-kunang liat rumus fisika..) dan banyak informasi yang berkaitan dengan khatulistiwa dan matahari. Sangat informatif. Terdapat pula alat peraga yang mudah dimengerti bagi pengunjung awam.



       Di lantai keramik putih, terdapat sebuah garis lurus melintang berwarna hijau yang menandai tepat di garis khatulistiwa. Menakjubkan bagaimana ilmu pengetahuan telah berkembang amat pesat pada saat itu (penelitian oleh tim dari Belanda dilakukan pada 1928) dan memberikan hasil yang nyaris sama dengan penelitian based on teknologi GPS saat ini.

 Ini sih kayanya anak-anak sekolah wajib dateng kesini, apalagi anak geografi. Karena banyak sekali informasi dan ilmu yang bisa dipelajari terkait garis khatulistiwa dan semua fenomena yang menyertainya. Sayangnya, saat kami berkunjung, hanya terdapat sekitar 5 nama di list daftar tamu. Wah, sepi sekali..

Oh ya, fyi, untuk masuk ke Tugu Khatulistiwa ini kita tidak dipungut biaya. Hanya harus membayar parkir motor atau mobil, kira-kira sebesar lima ribu rupiah saja. Sangat murah meriah. Menurut info juga sebenarnya kita bisa meminta semacam sertifikat kepada petugas untuk memorabilia bahwa kita sudah pernah menginjakkan kaki tepat di garis khatulistiwa, tapi saya nggak minta karena lupaaaa...zzz..

Di halaman luar monumen juga terdapat penjual souvenir dan aksesoris yang murah-murah dan bagus. Mulai dari gantungan kunci murah meriah sampai batik khas Pontianak. Kalau untuk jajanan, oleh-oleh yang khas dari Pontianak adalah olahan daun lidah buaya. Di toko souvenir tersebut juga menyediakan segala macam olahan lidah buaya seperti manisan atau sirup segar lidah buaya, begitu banyak pilihan yang bisa kita beli sebagai buah tangan.

Nah, sekian cerita singkat tentang mbolang cantik di Tugu Khatulistiwa. Masih ada banyak cerita dari perjalanan singkat ke Kota Pontianak nan cantik ini, i will update as soon as possible, insya Allah. 


Makassar first timer, senja di Pantai Losari..

Sebelumnya mohon maaf, karena saya sedang jaraaang banget pergi kemana-mana maka demi keberlanjutan eksistensi blog saya memutuskan untuk re...